Subjek Dramatis dalam Kesadaran Publik

Hidup adalah sebuah drama, setiap individu saling bermain peran dalam relasi interpersonal membentuk kehidupan sosial yang secara serta-merta dengan itu, terorganisir. Intinya adalah relasi antar-orang ini yang membangun kesatuan sosial sekaligus politik, sebuah pembagian peran dalam masyarakat. Ada pemimpin, ada rakyat. Ada pembeli, ada penjual. Ada pekerja, ada bos. Ada suami, ada istri. Kesemuanya pada gilirannya membangun sebuah rangkaian kehidupan terstruktur sebagai masyarakat dengan semua aspeknya mulai dari yang paling mendasar berupa ekonomi-politik hingga yang kompleks berupa sosial, budaya, pendidikan dan bahkan peradaban.

Sebagai makhluk sosial, setiap orang niscaya butuh berhubungan dengan orang lain dalam membangun komunikasi demi memenuhi kebutuhannya yang mustahil dipenuhi secara individual. Proses ini sudah bermula semenjak  Nabi Adam AS tercipta sebagai manusia pertama dalam sejarah dan secara melankolis merasa kesepian padahal kebutuhan apa pun sudah terpenuhi. Ada ruang kosong dalam dirinya berwujud kesepian, sehingga Siti Hawa diciptakan untuk mengisi ruang  itu. Dalam konteks ini, komunikasi adalah wujud konkret kebutuhan psikis manusia.

Di era komunikasi abstrak hari ini, media sosial memainkan peran fundamental bahkan revolusioner, dalam arti banyak menciptakan fenomena baru yang belum pernah ada dalam sejarah. Peralihan jangkar kehidupan dari realitas kongkret  menuju realitas maya mengaburkan batas antara yang privat dan yang publik dalam komunikasi. Seperti misal, membicarakan masalah-masalah privat di ruang publik. Sebelum era media sosial, membuka masalah privat secara publik adalah janggal, bahkan melawan norma sosial dan moral. Namun tidak dengan era media baru hari ini, kehidupan privat diumbar secara gampang di ruang publik, mulai dari menu makan, mengasihani diri, ungkapan makian dan kejengkelan, do’a dan harapan, bahkan informasi penting seperti kucing tetangga yang selingkuh gampang ditemukan.

Hal sedemikian ini semakin hari semakin menjadi-jadi, pemberitahuan info receh seperti ini menjadi fenomena umum terutama karena difasilitasi dengan ruang up date status atau story. Ini menggiring model berpikir baru secara psikis dalam subjek untuk menjadi dramatis, subjek dramatis. Maksudnya, sebuah subjek yang menempatkan dirinya sebagai objek tontotan dan publik sebagai penonton. Dan media sosial baru menfasilitasi dan mengiring model berpikir seperti itu di setiap penggunanya. Di titik ini kemudian, subjek dramatis merambah menjadi kesadaran publik.

Dalam paradigma subjek dramatis ini, hidup sebagai sebuah drama menemukan manifestasinya. Setiap orang berusaha menampilkan citra diri yang baik sambil membayangkan orang lain akan menilainya berdasar citra itu. Setiap orang dengan begitu, terpenjara dalam tampilan dan secara paradoks menyembunyikan citra diri yang buruk agar drama berjalan sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya, setiap orang terbiasa ‘bertopeng’ untuk menutupi sisi gelap dalam diri untuk dilihat baik oleh orang lain. Dan pada saat yang sama, ia membohongi orang lain dan lebih jauh lagi, ia mengingkari dirinya sendiri.

Dalam tradisi keagamaan, hal ini termasuk kategori riya’, al-Qiyamu bi al-‘amali au tarkuhu li-ghairillah, melaksanakan atau meninggalkan suatu perkara karena selain Allah SWT. Bahkan Rasulullah SAW mensinyalir riya’ sebagai syirku al-asghar, sebuah ke-syirik-an yang kecil. Jadi, fenomena subjek dramatis yang menghinggapi kesadaran massa secara massal hari ini dengan ditunjang perkembangan teknologi dan informasi adalah migrasi merangkak dari ketuhanan sebagai pusat kehidupan menuju kehidupan imaginer yang artifisial.

Adapun efek lanjutan dari itu juga adalah ujub,membanggakan diri-sendiri. Sebagai akibat dari kebiasaan menampilkan citra baik sehingga menciptakan mindset akan diri-sendiri yang memiliki nilai lebih dari orang lain. Hal ini jelas membangun kesadaran palsu dalam diri yang bila diproduksi secara terus-menerus akan menciptakan budaya narsistik.

Sehingga benar bila manusia hari ini telah mencapai perkembangan canggih yang belum pernah ada dalam sejarah, namun tanpa kemanusiaan. Manusia telah mengasingkan dirinya dari realitas riil yang dihidupinya. Sehingga secara tidak langsung, perkembangan zaman adalah sebuah langkah mundur dalam kemanusiaan, sebuah ke-jahiliyah-an dalam mode baru.

Keterjagaan ( awakeness ) dan kesadaran ( awareness ) adalah kunci utama dan tentunya dengan agama, ilmu dan pengetahuan. Generasi eksis bukanlah generasi yang selalu selfie dan tampil dalam citra baik di media sosial, namun generasi eksis adalah generasi yang senantiasa dalam keterjagaan dan kesadaran untuk tetap waras dalam terjangan dan ledakan informasi sekaligus menjadikan ketuhanan sebagai pusat dan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Dalam hal ini, setiap orang mesti terampil mengidentifikasi diri baik posisi maupun fungsi. Kesadaran akan posisi sebagai manusia baik individual maupun sosial akan berakibat pada ketepatan dalam melaksanakan fungsi dan perannya. Di hadapan Tuhan, ia adalah seorang hamba dam melaksanakan apa pun dengan tetap dalam status kehambaan. Sedang dalam interaksi sosial, ia dalam relasi inter-personal sebagai partner dalam ber-ibadah dan ‘amal shaleh secara sosial dalam Tawashaw bi a- Haq dan bi as-Sabr. Wallahu A’lamu bis Shawab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *